Posting diluar tetek bengek persiapan pernikahan, secara pikiran isinya tentang wedding prep terus jadi suka agak sensi kalau orang ngomongin masalah itu. :D
Beberapa hari yang lalu saya dan Mrs. Boss lunch meeting dengan Sales dari salah satu hotel ternama di daerah Jakarta Pusat. Awalnya kita ngobrol biasa sambil sedikit bercerita tentang hal-hal diluar pekerjaan, sampai ketika si Mrs. Boss menanyakan status pernikahan, si Sales ini, dia bilang, "Saya udah nikah , Mbak, malah udah sampe cerai nih.. hahaha". Memang dia bercerita sambil tertawa, tapi suddenly saya dan Mrs. Boss langsung diam mincep ga berkata apa-apa. Yang bikin kaget adalah Mbak ini umurnya dibawah saya 2 tahun tapi sudah merasakan jadi janda (janda kembang lebih tepatnya). Dan si Mbak cantik juga cerita kalau alasan dia pisah dengan suami adalah karena si suami berkali-kali selingkuh dan berkali-kali juga ketahuan, dan setelah dia berkonsultasi dengan Ibu dan Bapaknya, beliau menyarankan untuk pisah saja daripada hidup bersama tapi menderita batin. Dia mengakui kalau dia menikah terlalu cepat di umur 22 tahun, disaat emosi dia dan suaminya belum stabil.
Mrs. Boss cerita, selingkuh itu habit. Sekali dia melakukan pasti akan terulang lagi. Jadi rasanya adiktif seperti drugs. I do agree with it, tapi kadang manusia perlu diberi kesempatan kedua. Tapiiii... (ada tapinya nih), kesempatan yang kita berikan juga harus ada deadline-nya ya, bukan karena kita sayang dan sebagainya, bikin kita buta kalau pihak yang bersangkutan sama sekali tidak memikirkan perasaan kita. Dulu saya itu termasuk orang yang saklek (bahasa gampangnya : TEGA), sekali diselingkuhi, langsung putus. Tapi seiring berjalannya waktu, lama-lama kita juga berpikir kalau bisa jadi kita juga (mungkin) melakukan kesalahan dan itu menumpuk lama dan akhirnya berujung selingkuh.
Mrs. Boss juga menambahkan kalau cari suami, carilah yang sudah "bosen nakal". Istilahnya memang agak aneh ya, karena saya agak sulit cari istilah yang pas untuk menrangkum penjelasan Mrs. Boss. Jadi intinya begini, kalau si calon suami sudah puas nakal di masa muda, nantinya di masa tua dia tidak akan terbawa pengaruh teman-temannya yang baru "puber". Ya memang ada banyak bapak-bapak yang sewaktu muda alim sealim-alimnya, begitu dia punya uang langsung dihabiskan untuk urusan "perempuan ga jelas".
Ada benar dan tidak benarnya sih. Bagi saya dan calon suami yang sudah capek "nakal-nakalan".
Mengapa akhirnya kita berdua merasa siap untuk menikah? Karena sudah merasakan segala jenis kenakalan masa muda (aih, bahasanya kok ngeri ya?) Saya sudah cukup tahu bagaimana calon suami dulu dan begitu pula sebaliknya. Dan kita paham konsekuensi dari apa yang kami lakukan di masa lalu dan segera menyiapkan tindakan selanjutnya (oke oke semakin kedengeran mengerikan ya?)
Intinya adalah, habit atau bukan itu tergantung dari orangnya masing-masing. Karena begini lho, semua tindakan itu adalah SEBAB - AKIBAT (atau sebaliknya). Kita melakukan sesuatu ada semacam pemicu atau alasannya, sadar atau tidak sadar, tapi menurut literatur yang saya baca kebanyakan alam bawah sadar kita yang memicunya. Terlebih jika alam bawah sadar menangkap kalau (let's say) selingkuh itu menyenangkan, pasti itu terekam sangat jelas disitu dan kita merasakan sensasi menyenangkan itu. Otomatis ketika ada hal yang mirip dengan kejadian di masa lalu (yang mirip dengan situasi pemicu selingkuh tersebut), tindakan yang dilakukan sudah pasti sama, maka dari itu kadang kita menyebutnya habit.
Oke, sepertinya mulai membingungkan ya?
Jadi, gampangnya begini deh, kalau misalnya suami melakukan kesalahan (terlepas dari apakah itu fatal atau tidak), pasti ada kita sebagai istri yang bisa jadi memicu tindakannya itu. Agak sulit memang untuk bisa sadar dan mengakui kalau itu salah, tapi demi keutuhan rumah tangga, perlukan gengsi itu kita tinggikan?
Cheers,
Sishi :3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar